dadiwongenomblikenasobud

Archive for May, 2007|Monthly archive page

Pancasila dan Barongsai di Pesantren

In Celotehan, Dunia Pesantren, Kultur on 30 May 2007 at 7:15 pm

Tanggal 1 Juni kemarin, diperingati hari lahirnya pancasila. Bersamaan pula, hari Waisak bagi umat Budha tahun 2551. Pancasila tak ubahnya sebagai sebuah ideologi negara yang mempersatukan berbagai muliti: multi etnis, multi kultur, multi bahasa, multi agama dan segala multi nafsu. Masing-masing kemultian itu berusaha hadir menjadi dominan. Utamanya adalah agama. Namun hebatnya, yang paling getol memperjuangkan pancasila itu justru lahir, setahu saya, dari para ulama NU. Mereka bukannya getol memperjuangkan agar syariat Islam menjadi paku bumi di Indonesia. Tapi loh kok, aneh, mereka justru seolah-olah menyembunyikan syariat di ruang publik?
Aneh apanya seh….?

Untung Ses(a)at

In Celotehan, Kultur on 28 May 2007 at 3:46 pm

untung.gif

SEORANG Ibu ‘ngedumel’ terus ketika menimbang berat buah mangga yang dibelinya dari pasar Kebayoran Lama tidak sesuai berat sesungguhnya. Timbangan di rumahnya jelas menunjukkan kurang dari 1/4 kilo dari berat satu kilo seharusnya. Berarti si tukang buah mengurangi timbangan sebanyak 25 ons. Wadau! Fenomena ini klasik tapi menarik sebab konon, terkait dengan hukum grafitasi yang sesat-menyesatkan.

Loh kok, loh kok menyesatkan?

ACTION DAHULU NIKMAT KEMUDIAN

In Cerpen on 26 May 2007 at 10:52 pm

Ada seorang gadis yang sangat akrab dalam sebuah komunitas pribadi. Suatu ketika gadis ini mengajak berkencan dalam sebuah kesempatan. Bagi mantan santri ajakan itu merupakan kesempatan baru. Sebab dalam dunia pesantren ia belum pernah mengalami hal itu. Kini setelah ia bekerja di kota dan akrab dengan dunia internet. Ia menemukan banyak sekali komunitas baru yang begitu mengasikkan. Seolah bebas dari kungkungan aturan pesantren. Ketika ia sudah sekian lama, ia menemukan gadis dalam dunia virtual. Ia mencitaninya dan gadis di seberang sanapun mengaku mencintai santri itu. Merasai keakraban dengan pasangan virtualnya, dan kini ia diajak untuk menikmati hubungan itu, ia terjebak antara realitas dengan teori kesantrian. Bagaimana kelanjutannya?

Ternyata menyikapi siatuasi seperti ini ia berdeguplah dadanya sedemikian kencang. Sebab di dalam pikirnya terpampang dua hal yang berbeda: antara rasa bersalah dan kesempatan. Kalau rasa bersalah itu adalah pembenaran umum. Bahwa setiap orang akan mengatakan kalau berhubungan ala suami isteri belum menikah pasti melawan hukum negara / agama. Jika ia menerobos, maka menurutnya, jati dirinya akan terkikis. Gumam batinnya.

Sebaliknya, jika memilih pada opsi kedua yaitu kesempatan langka. Sebab baru kali ini ada seorang gadis yang dicintainya merelakan dirinya untuk digauli. Bukankah ini sebuah kesempatan langka. Sementara keinginan libido pun tidak menolaknya. Maka berpikir-pikirlah ia dalam kesendiriannya untuk menemukan jawaban yang rasional: ini kesempatan langka dan segera beraksi nikmat kemudian.

Trie. Nama panggilan gadis itu. Seorang penulis aktif di majalah wanita yang terbit di dalam dan luar negeri. Semacam kontributor berita dan feature. Karenanya dalam setiap tugas-tugas reportasenya, Trie berhasil mendapatkan bukan saja data kuantitaif dan kualitatis, bahkan ia sendiri menjadi objek penelitianya. Saat meneliti kehidupan para selebriti dan kaum borjuis negeri ini yang suka keluyuran malam tidak lepas dari sorotan penelitiannya. Karenanya ia bukan saja sebagai pemerhati bahkan mencoba menjadi pelaku. Itulah yang mengglitik santri tentang tulisn-tulisanya. Katanya, sangat hidup dan sangat berkesan di hatinya. Dua bulan rasanya cukup sudah mengenal Trie dalam kehidupannya yang menarik baginya. Apalagi ia pun ahli dalam bidang seni peran. Kebetulan santri inipun mencitai dunia peran meskipun bukan pelaku. “Gadis ini kerap mencintai dunia yang agak bebas dalam pandangan santri. Dibesarkan dalam komunitas budaya bebas dan lebih mengenal filsafat dan dunia santri merupakan dunia yang tak pernah hinggap di dadanya.

“Filsafat bagi saya sangat menarik” kata Tri dalam sebuah dialog di sms.

“Apa yang menarik dari filsafat, Jeng”

“Ya aku bisa menilai seseorang bukan dari satu sudut, bisa memotret dari tiga bahkan empat dimensi sekaligus. Bukankah ini amat menggairahkan”

“Wahh kalau begitu aku ingin belajar dari kamu, Jeng, bolehkah aku menjadi muridmu”. Kata santri pada awal perkenalannya.

Tatkala bertemu antara dua dunia yang berbeda ini, keduanya bak pungguk merindukan bulan. Seakan ada aliran kosong dalam batinnya yang selama ini dibiarkan melompong. Tatkala ruang batin kosong ini bertemu, bak aliran elektron antara positif dan negatif. saling-kait berpadu padan dan ingin segera bertemu di saat kapanpun.

“Kapan bisa saya ke tempatmu, Jeng”.

“Kamu penasaran amat sih sama saya. Aku gak suka loh, sama orang yang penasaran ma aku”

“Ialah. kita kan sudah bertemu akrab dalam dunia maya”

“Lalu kamu mau ngapain ke tempatku”

“yaa kita mengobrol apa saja, kita bicara tantang filsafat eksistensi.”

“Sekalian kita bisa saling mengenal lebih dekat dengan kamu.”

“Ya nantilah satu bulan lagi, ya”

Dalam benak santri ini, ia merupakan gadis yang empatis. Bagi Trie santri ini begitu mengaguminya karena salah satu kelebihan santri ini tidak mempermasalahkan dunianya. Begitupula Tri begitu mengagumi sikap empati yang ditunjukkan santri padanya. Walaupun Trie kerap akrab dengan dunia semi bebas, namun bagi santri tidak memperdulikanya. Cint memang buta! Dalam benakya menemukan sesuatu yang selama ini dicarinya. Wanita yang sangat empati padanya, pintar dan mengerti dunia modern.

Bagi Tri jelas sekali sikapnya, mengapa ia mencintai santri ini. Jarang sekali orang yang berpandangan seperti kamu, katanya dalam salah satu dialog via sms. Dua insan ini memang tidak pernah lepas setiap hari berpacaran via sms. Begitupula kalau mampir di internet, meskipun tidak bersamaan, namun seringkali meninggalkan jejak di pesan inboxnya. Baginya Yahoo Messanger begitu akrab. Seakan menjadi dunia lain yang begitu mempesona santri. Apa saja dibicarakan begitu saja mengalir. Tiada sekat yang mengganjal bagi kedua insan yang berbeda pandangan ini dalam berargumen.

“Aku barusan berbicara tentang cinta, di sebuah mimbar hari Jum’at kemarin” pesan yang ia tinggalkan dalam inbox untuk Trie.

“Haaa kamu jadi khotib ya? Waaah makin cinta aku padamu, sayang.” Trie menawab jujur via sms.

“Mas aku ingin mencium bibirmu yang basah itu, dan merasakan bagaimana nikmatnya memagut bibir yang sering mengungkapkan ayat-ayat Tuhan”

Lalu pada baris berikutnya ia pun mengatakan:
“Dalam pandangan filsafat, naluri dasar manusia jika disalurkan akan menenangkan batin. Bagaimana menurutmu mas, apakah dengan demikian sex merupakan bagian dari tazkiyatunnafs?”

“wah aku masih meragukan itu, Jeng. Aku baca konon dalam sebuah situs ada yang menulis bahwa sex adalah merupakan gambaran bagaimana mendekat pada Tuhan. Tapi bagiku, Cinta yang ditunjukkan oleh Rabiatul Adawiyah yang tanpa kenikmatan ragawi adalah yang cocok bagi saya.”

“Memang benar, kalau begitu aku ingin belajar cinta dari kamu, mas” jawab Trie dengan penuh empatis.”

Dada santri berdegup, melihat kenyataan Trie begitu memperhatikannya. Buru-buru ia pencet 12 angka tanpa melihat lagi, saking hafalnya.

“Assalamu’alalikum sayang, apa kabar?”

“Hei kabar baik, mas lagi dimana?”

“Di Musholla”

“Ya ampuun setiap menelpon kok di Musholla terus sih,”

“Abis tempat yang enak untuk istirahat. Aku dari perjalanan ke Bintaro, aku sholat sebentar dan istirahat.”

“Eh kamu khutbah kemarin, bicara apa, ayo dong ceritakan.”

“Aku bicara tentang bagaimana orang itu harus punya pegangan”

“Materi tentang cinta itu bagaimana, ayolah berkhotbah padaku?”

“Dunia ini ibarat kendaraan raksasa, sementara manusia adalah penumpangnya. Jika kendaraan itu bergoyang, maka manusia itu butuh pegangan biar jangan jatuh. Nah, demikian pula jiwa, ia butuh pegangan yang kuat sebab jika tidak ada pegangan ia akan jatuh tersungkur. Kalau sudah jatuh jiwa kita akan terluka.”

Dada Trie begitu sesak. Entah seperti langit mau runtuh. Antara malu dan kecele seakan santri memberikan nasehat khusus buat dirinya. Kalau selama ini ia begitu bebas bergaul dengan siapa saja, dan melakukan kebabasan gaul ini kan bukan tanpa alasan. Jikapun aku melakukan hubungan badan itu ada alasan rasional. Lagi pula tingakah aku seperti ini juga bukan karena keinginanku.

“Tri r u fine” suara santri di telepon..

“Oh, eee yaa… I am fine. Maaf ada orang ngajak ngomong.” Tri beralasan padahal ia tengah meregang sendiri.

————-

Malam makin larut. Suara jangkrik piaraan tetangga begitu mengganggu telinga santri. Bantal yang empuk serta kasur dengan sprei merah jingga itu tak juga bisa menamani santri untuk melankah ke alam mimpi. Hayalnya pada Trie makin mengemuka. Ia antara sadar dan tidak terus saja membayangkan jika memiliki Trie.

“Assalamu’alaikum.” Tri menjawab telepon malam itu.

“Tri aku gak bisa tidur.” Santri bahkan tidak menjawab salam.

“Kenapa, kangen ma aku ya.”

Entah mengapa setiap mendengar kata-kata itu, ia makin penasaran pada Trie yang belum bisa bertemu padahal ia hampir setiap hari memesrainya dalam setiap sms dan telepon.

“Mas, kita mabuk yuk?” Trie berusaha membujuk santri akan kebiasaanya lewat sms.

Santri bingung menjawabnya. Ia dihadapkan pada kenyataan yang ia sendiri tidak menyangkanya. Apakah ini konsekwensi berpacaran dengan wanita kota. Gumamnya.

Dalam batinya ia bergolak. “Bagaimana mungkin aku mabok, botol minumanpun aku belum menyentuhnya.” Tapi ia sendiri merasa heran dan tidak habis pikir mengapa Trie mengajakku untuk mabok? Apakah ia tengah mengetes aku, mengetes kesantrian dan keimananku? Bukankah ia ahli seni peran, sehingga mengetes ego dan reaksiku. Tapi tidak, kayanya ia serius. Ia memang suka mabok, seperti yang sering ia ungkapkan dalam dialognya. Tidak aku tidak mau mabok sekarang terlalu cepat ia mengajakku. Aku kaget. Ia terus bergumam sendiri.

“Aku kini tengah memabukkanmu, sayang.” Setelah 10 menit akhirnya santri menjawab via sms.

“Bukan mabuk cinta, tapi mabuk alkohol sekalian makan kacang.”

Makin nyata akan keseriusan Tri mengajak mabok-mabokan. Santri bingung antara mau dan tidak. Antara perasaan dosa dan kemungkinan tidak diterima taubatnya bagi si pemabuk. Antara hukuman cambuk di Aceh dan perasaan bersalah pada kyai yang mengajarkannya dan antara hasrat agar selalu dekat dengan Trie. Lama santri tidak menjawab. Makin bingung antara cinta dan hasratnya.

“Mas, aku ingin kamu tidak mereka-reka dalam hidup. Tapi merasakannya. Sehingga nantinya jika kamu berargumen bukan hanya menebak tapi ada pengalamannya. Sehingga kalau kamu sudah mengalami masa itu, kamu akan semakin mempesona.” Kata Trie mulai berfilsafat.

Santri makin bingung antara ia dan tidak. Sebab memang benar selama ini para penutur agama dalam setiap ceramahnya seringkali bicara tentang dosa. Tapi apakah ia sendiri pernah mengalamai suatu hal yang ia sendiri bagaimana merasakannya. Mabuk adalah dosa besar dalam terminologi agama. Ia teringat akan ayat alquran bahwa turun ayat larangan minuman adalah berngsur-angsur. Bahkan para sahabat nabi pernah melakukan mabuk-mabukan. Pertama, ayat itu menyinggung tentang minuman bahwa dalam diri minuman itu ada manfaat dan ada madhorot, lalu di susul dengan ayat yang turun menegur agar para sahabat nabi jangan mabuk saat mengerjakan sholat. Artinya, sementara tidak sholat boleh minum-minuman keras. Dan pada ayat ketiga turun ada larangan jelas yaitu bahwa mabuk-mabukan adalah tindakan yang kurang bagus ia mirip dengan perbuatan syetan, maka tinggalkanlah.

Bukankah konon, dai selebriti seperti Uje adalah juga mantan pemabuk dahulunya. Bisakah saya pun mengikuti jalannya. Nanti setelah mabuk dan merasakannya saya tidak akan lagi mengulangi.

Tapi ia pun teringat akan cerita seorang ulama yang pernah dikaji dalam kitabnya di pesantren saaat mengaji di Pesantrennya. Dalam cerita itu, kyai bertutur ada seorang ulama yang alim dan sekaligus ulama ini sakti mandraguna, karena mempelajari ilmu hikmah. Para murid-muridnya saja bisa terbang bagaimana gurunya. Mula-mula ia kepincut pada sorang gadis yang tercantik di kampungnya. Ia digoda oleh gadis itu saat ia tengah berdzikir. Mula-mula ia tidak tergoda. Namun karena syahwatnya yang memuncak, gadis itu terus saja menggodanya. Lama-lama ia bingung sendiri. Karena saking cintanya, ia malah tergila-gila dan ingin memilikinya. Gadis itu lalu menawari minuman keras. Semula ia tidak mau. Jika kamu tidak mau minum, saya tidak mau menikah dengan kamu. Kata gadis itu. Akhirnya diterima syaratnya untuk menikah dengan gadis itu. Setelah mabuk karena meminum satu gelas arak yang disodorkannya, ulama ini langsung pusing tujuh keliling dan matanya berbinar-binar. Syahwatnya mulai memuncak dan mengajak gadis itu untuk tidur bersama.

Konon dalam suasana yang begitu akrab, datanglah seorang anak kecil yang memergokinya dalam keadaan tengah begumul dengan gadis cantik itu. Ulama ini yang tengah masih mabuk namun seperempat sadar merasa malu luar biasa. Ia berusaha untuk meninggalkan gadis itu. Namun perasaan malu luar biasa karena jikalau anak ini bercerita pada orang-orang sekampung matilah ia sebagai ulama di kampungnya.

“Bunuhlah anak itu, cepat biar dia tidak cerita kemana-mana.” Perintah gadis itu.
Tanpa pikir panjang akhirnya anak kecil itu dibunuh hingga mati. Sampai di sini, ia bingung kembali bagaimana cara menguburkannya. Sebab ia tidak mau dicap sebagai pembunuh. Akhirnya, ia terus digoda lagi agar menguburkannya di samping rumahnya. Saat ia tengah menguburkan anak kecil yang ia bunuh itu, orang-orang sekampung memergoki kyai ini tengah mengubur anak kecil. Karena orang-orang kampung mengetahui bahwa ada seseorang yang mengatakan ulama ini telah membunuh anak kecil dan menguburkannya karena si anak mengetahui ia telah menzinahi gadis desa.

Rupanya yang memberitahukan orang-orang kampung itu adalah perempuan yang cantik yang sebenarnya adalah syetan yang menggoda kyai. Habislah riwayat kyai itu dan ramai-ramai orang sekampung membunuhnya. Cerita itu aku pernah lihat pula telah disinetronkan.

————– bersambung —————–

Mengaplikasikan Akhlaq Tuhan di Bumi

In Celotehan, Politik on 26 May 2007 at 10:49 pm

Mohon maaf pada saudara-saudara penganut agama lain tanpa maksud untuk mempengaruhi ruang public yang harmonis ini dengan isu agama. Sama sekali tidak. Apalagi menyuruh pindah agama atau menganggap agama sendiri paling benar sama sekali tidak. Di dalam kultur pesantren dan NU keharmonisan agama sangat dijaga. Saya memang tengah digairahi untuk belajar menulis apa saja. Apalagi ada dorongan dari kang Dehel agar jangan takut menulis. Karenanya, berani menjadi santri (pelajar) harus berani menulis terus. halah …
Loh, kok jadi narsis sih

Disharmoni Kultural: Agama kok Bawel?

In Celotehan, Kultur, Pendapat on 26 May 2007 at 10:42 pm

Jika agama dimaknai sebagai tindakan aksi untuk kemanusiaan maka sebenarnya amat membantu untuk bisa hidup rukun dan damai. Sayangnya hubungan kemanusiaan itu justru oleh perbedaan tafsir agama itu sendiri. Bahakn bukan antar agama melainkan dalam satu sekte keagamaan. Contohnya, di antara organisasi NU dan Muhammadiyah. Sampai hari ini, perbedaan ini seringkali membawa discommunication. Lihatlah masalah qunut, tahlil, tawasul, tangan digerakkan saat tahiyat, mengamini do’a dengan mengangkat tangan, panggilan sayyidina kepada Rasulullah saw, masalah ziarah dan lain-lain. Pertanyaanya, apakah memang demikian agama dilahirkan guna menciptakan disharmoni?

Kalau dianggap basi : pls jangan dibaca heheh…

Kenapa Harus Kerja, kan hasilnya tak Dibawa Mati…

In Celotehan, Dialog on 25 May 2007 at 9:54 pm

Kuatan mana dia sama kita?Suatu senja tetanggaku di internet dalam keadaan invisible bertanya:

Hanya dua pertanyaan sih:
1. Kenapa kita harus berusaha mencari uang untuk kebutuhan hidup.
2. Kenapa juga kita harus bekerja mencari kubutuhan duniawi sedang itu semua tidak dibawa ke akherat.

Waaduh pertanyaannya sampai ke akhriat!

Jujur, Duit dan Amin Rais

In Celotehan, Politik, Tokoh on 24 May 2007 at 1:17 pm

Rupanya, yang namanya jujur di negeri kita ini masih tergolong langka. Apalagi jujur itu diungkap oleh mantan petinggi yang kini sudah tidak menjadi pejabat di atas. Siapa lagi kalau bukan Amin Rais. Beliau kini tengah ramai dibicarakan terkait dengan pengakuannya menerima uang sejumlah Rp. 400 juta. Saat itu Pak Amin sebagai pemimpin PAN (Par¬tai Amanat Nasional). Uang itu sendiri diperoleh dari Departemen Perikanan dan Kelaautan (DPK). Konon uang itu dibuat untuk biaya kampanye 2004 lalu. Hebatkah Pak Amin Rais sebagai rais yang amin?

rais yang amin?

Berbagi Surga….

In Pendapat, Uncategorized on 15 May 2007 at 6:07 pm

burung2pun menikmati kehijauanSURGA konon menjadi harapan setiap insan yang menjiwa. Tak urung setiap detik para penanti ini begitu setia manggilnya. Surga kemudian dibagi-bagi pengertiannya bagi masing-masing kelompok.

Pada golongan pertama Surga merupakan gerak hidup dan kehidupan yang terus sambung-membayang. Tak sejengkalpun ruang batin jiwanya digunakan untuk non surga. Itulah mengapa setiap insan yang merindu pada surga menanti dengan sangat khusu serta rela berpeluh-peluh dalam hidupnya di dunia saat ini. Bahkan ia tidak berani menghadirkan surga saat ini, bahkan bau surga sekalipun. Sebab dalam benaknya bertutur: jika syurga dinikmati sekarang, nanti surga akhirat tidak kebagian. Rupanya ia khawatir bagian surga akhirat akan berkurang. Karenanya, dalam gerak hidupnya mereka mereka rela bersusah payah tidak menikmati surga. Sebab dirinya direlakan tuk menggapainya. Konon, dalam masa penantiannya itu,  mereka amat merindukannya. Dalam seluruh hidupnya berusaha diaplikasikan demi meraih surga yang kekal nan abadi. Jadi, mereka rela bersusah-sudah hidup dan tetap  konsisten dengan segala kewajiban sebagai seorang hamba: yaa ibadahnya, ya pengorbanannya dan lainnya.   Read the rest of this entry »

Jepang Modern, Tradisi Koheren

In Modernisasi on 15 May 2007 at 5:37 pm

Tradisi bila tetap dijaga ternyata tidak serta merta mendapat julukan yang kurang enak:  tradisionalis, kolot dan kuno. Sebaliknya, bagi masyarakat Jepang tidaklah demikian. Jepang, sebuah negara yang memperoleh kesuksesan menjadi negara modern dan patut dicontoh bagi negara-negara berkembang di Asia, justru maju dan modern karena menunggangi nilai-nilai tradisinya. Nilai-nilai tradisi apakah yang tetap diusung Jepang dalam menapaki dirinya hingga berhasil mengimbangi negara-negara maju di Amerika dan Eropa lainnya? 

Read the rest of this entry »

Gus Dur: Susah Menghadapi Orang Salah Paham

In Pendapat on 9 May 2007 at 3:00 pm


Agama akan menjadi rahmat jika ia datang kepada manusia untuk kepentingan kemanusiaan. Tapi kalau untuk kepentingan manusianya sendiri, dan bukan untuk memenuhi kepentingan kemanusiaan, itu bukan agama namanya. Itu penggunaan agama yang salah. Benturan antar ”kebenaran” terjadi saat orang-orang berani mengambil-alih jabatan Tuhan, fungsi Tuhan, dan kerjaan Tuhan. Padahal, dalam ajaran tauhid, urusan kebenaran adalah hak prerogratif Tuhan. Demikian refleksi KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagaimana dituturkannya berulang-ulang kepada di Radio 68H, Jakarta. Berikut adalah petikan wawancaranya.

Read the rest of this entry »